Beranda | Artikel
Ibadah dan Amalan yang Bermanfaat Bagi Mayit
Selasa, 23 Maret 2021

IBADAH DAN AMALAN YANG BERMANFAAT BAGI MAYIT

Oleh
Mahmud Ghorib Asy-Syarbini

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, salawat serta salam mudah-mudahan selalu tercurahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya dan sahabatnya serta orang-orang yang diberi petunjuk dengan petunjuk-Nya.

Sesungguhnya manusia itu berdasarkan fitrahnya, telah dijadikan untuk memberikan manfaat kepada orang-orang yang telah mati, khususnya setelah mereka meninggal dunia secara langsung, dengan prasangkaan dan anggapan bahwa amalan yang mereka kerjakan itu bisa memberikan manfaat kepada si mayit ketika di dalam kuburan dan setelah ia dibangkitkan darinya.

Ketika kebutaan (kebodohan) terhadap agama menyebar di kalangan manusia, menjadikan setiap orang melakukan berbagai amalan ibadah dan ketaatan sekehendaknya, yang dia menganggap bahwa amalan-amalan tersebut bisa memberikan manfaat kepada (si mayit) yang telah meninggal dunia.

Orang yang berbuat semacam itu lupa, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, sebagaimana disebutkan di dalam (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) dari hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ عَمَلٍ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Setiap amalan yang padanya tidak ada urusan kami, maka amalan itu tertolak“. [HR. Bukhari dan Muslim]

Maka seseorang tidak boleh menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendekatkan diri kepadaNya, kecuali dengan apa-apa yang telah disyari’atkan. Cukuplah pahala amalan yang disyari’atkan ini dihadiahkan kepada orang-orang yang telah meninggal dunia. Jika suatu amalan tidak disyari’atkan, maka amalan tersebut tertolak dan tidak diterima, pelakunya tidak mendapatkan pahala bahkan ia mendapatkan dosa. Maka bagaimana bisa memberikan pahala amalan yang tertolak! Bahkan anda berhak bertanya: “(Apakah pantas diberikan) dosa amalan yang tertolak ini (amalan bid’ah) untuk si mayit, yang dia muliakan, yang dia hendak memberikan manfaat kepada si mayit setelah terputus segala amalannya?!”

Ada amalan-amalan yang bisa memberikan manfaat kepada mayit setelah kematiannya, yang amalan itu bukan amalan orang lain, tetapi dari perbuatannya sendiri semasa hidupnya di alam dunia. Maka mengalir untuknya pahala dari amalan tersebut semasa hidupnya dan setelah kematiannya.

Maka dengan hal-hal semacam itu, saya terdorong untuk menulis beberapa kalimat dan menerangkan tentang ibadah-ibadah dan ketaatan-ketaatan yang bisa memberikan manfaat kepada mayit setelah ia meninggal dunia. Baik ibadah-ibadah atau ketaatan-ketaatan ini dari usaha mereka semasa hidup di dunia, sebelum mereka meninggal dunia atau dari usaha orang lain (yang dilakukan) agar bermanfaat untuk orang-orang yang telah mati.

Dengan harapan agar hal ini mengikuti “manhaj” (jalan) yang telah ditetapkan oleh Allah, Yang Menguasai orang-orang yang masih hidup dan yang telah mati. Dan terjauhkan dari setiap kebid’ahan dan khurafat. Sebagai pendekatan diri kepada Allah Rabb pemilik langit dan bumi. Dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar (amalan ini) diterima dan dapat meninggikan derajat.

Sebelum wafatnya, manusia bisa melakukan sebagian amalan-amalan yang pahalanya bisa terus mengalir setelah kematiannya. Selain itu, orang yang masih hidup juga dapat memberikan manfaat kepada mayit dengan amalan-amalan yang dikerjakan untuk ditujukan kepada si mayit setelah kematiannya. Amalan-amalan yang bisa dilakukan sebelum kematian itu memungkinkan dan mampu dilakukan. Jika sedikit saja dia mengerahkan usaha, waktu atau harta, maka dia mampu untuk melakukannya. Sedangkan amalan-amalan yang dilakukan oleh orang lain setelah kematiannya, maka amalan-amalan itu tidak berada di tangannya, bisa jadi ada atau tidak ada. Oleh sebab itu saya akan menyebutkan amalan-amalan yang berasal dari usahanya, bukan usaha orang lain, agar semua manusia segera mengamalkannya sebelum datang ajalnya, dengan harapan untuk memberikan manfaat bagi dirinya sendiri, tidak menyandarkan dirinya kepada manfaat dari orang lain setelah kematiannya.

Ibadah-ibadah dan ketaatan-ketaatan yang bermanfaat bagi orang yang telah mati, yang berasal dari usaha mereka sendiri:

  1. Shadaqah jariyyah (Sedekah mengalir yang pahalanya sampai kepadanya).
  2. Ilmu yang bermanfaat.
  3. Anak shalih yang mendoakannya.

Disebutkan di dalam hadits shahih dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakannya“. [HR. Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i]

Dan pada riwayat Ibnu Majah dari Abu Qatadah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ مَا يُخَلِّفُ الرَّجُلُ مِنْ بَعْدِهِ ثَلاَثٌ : وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ وَصَدَقَةٌ تَجْرِي يَبْلُغُهُ أَجْرُهَا وَعِلْمٌ يُعْمَلُ بِهِ مِنْ بَعْدِهِ

Sebaik-baik apa yang ditinggalkan oleh seseorang setelah kematiannya adalah tiga perkara: anak shalih yang mendo’akannya, shadaqah mengalir yang pahalanya sampai kepadanya, dan ilmu yang diamalkan orang setelah (kematian) nya“.

Dan disebutkan pada hadits yang lain riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لاِبْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ

Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan seorang mukmin yang akan menemuinya setelah kematiannya adalah: ilmu yang diajarkan dan disebarkannya, anak shalih yang ditinggalkannya, mush-haf yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah untuk ibnu sabil yang dibangunnya, sungai (air) yang dialirkannya untuk umum, atau shadaqah yang dikeluarkannya dari hartanya diwaktu sehat dan semasa hidupnya, semua ini akan menemuinya setelah dia meninggal dunia“.

  1. Shadaqah Jariyyah
    Perngertian shadaqah jariyyah menurut Madzhab Empat ialah : Suatu pemberian untuk mencari pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ada pula yang mengatakan : Memberikan shadaqah yang tidak wajib, dengan cara menguasakan barang dengan tanpa ganti (gratis). Ada pula yang mengatakan : Harta yang diberikan dengan mengharap pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ada pula yang mengatakan: Harta “wakaf”, sedangkan pengertian wakaf itu sendiri yaitu: Apa-apa yang ditahan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Dari pengertian-pengertian di atas jelas bahwa shadaqah jariyyah adalah suatu ketaatan yang dilakukan oleh seseorang untuk mencari wajah Allah, sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar orang-orang umum bisa memanfaatkannya sepanjang waktu tertentu, sehingga pahalanya mengalir baginya sepanjang barang yang dishadaqahkan itu masih ada.

Di antara contoh shadaqah jariyyah yang telah dilakukan di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah : Kebun kurma yang dishadaqahkan oleh Abu Thalhah (seorang sahabat Nabi) ketika turun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

لَن تّنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

Dan tidaklah kamu bisa mendapatkan kebaikan sehingga kamu menginfakkan (shadaqahkan) sebagian apa-apa yang kamu sukai“. [Ali-Imran/3: 92]

Kebun yang dishadaqahkan oleh Bani An-Najjar kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka untuk pembangunan masjid di waktu Nabi datang di kota Madinah.

Sumur “ruumah” yang dibeli oleh sahabat Utsman Radhiyallahu ‘anhu dan beliau shadaqahkan pada waktu kaum muslimin kekurangan air.

Tanah/kebun yang dishadaqahkan oleh sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu, yang merupakan harta yang berharga baginya (yang dinamakan tsamgh), beliau menshadaqahkan tanah tersebut, dengan syarat tidak boleh dijual, diberikan atau diwariskan, akan tetapi buahnya (kebun/tanah itu), dishadaqahkan untuk budak, orang-orang miskin, tamu, ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal) serta karib kerabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara hadits-hadits yang menyebutkan shadaqah jariyyah, adalah hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Sesungguhnya aku telah mendangar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ بَنَى مَسْجِدًا يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ الهِّ بَنَى الهُب لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

Barangsiapa yang membangun masjid untuk mencari wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga“.

Di dalam riwayat Imam Tirmidzi dari Anas bin Malik: (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda):

مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا صَغِيرًا كَانَ أَوْ كَبِيرًا بَنَى الهُل لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

Barangsiapa yang membangun masjid, kecil maupun besar, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga“.

Pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda):

مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا وَلَوْ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ أَوْ أَصْغَرَ, بَنَى الهُْ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah Subhanahu wa Ta’ala walaupun sebesar sarang burung atau lebih kecil darinya, niscaya Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga“.

  1. Ilmu Bermanfaat
    Sesungguhnya di antara yang bisa memberikan manfaat bagi maytit setelah kematiannya adalah ilmu yang ia tinggalkan, untuk diamalkan atau dimanfaatkan. Sama saja, apakah dia mengajarkan ilmu tersebut kepada seseorang atau dia tinggalkan berupa buku yang orang-orang mempelajarinya setelah kematiannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Abu Hurairah:

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ

Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan seorang mukmin yang akan menyusulnya setelah kematiannya adalah ilmu yang dia ajarkan dan sebarkan“.

Ibnu Majah meriwayatkan dari Muadz bin Anas dari ayahnya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا فَلَهُ أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهِ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الْعَامِلِ

Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun“.

Al-Bazzar meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha dia berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مُعَلِّمُ الْخَيْرِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ كُلُّ شَيْءٍ حَتَّى الْحِيْتَانُ فِي الْبَحْرِ

Orang yang mengajarkan kebajikan dimintakan ampunan oleh segala sesuatu, sampai ikan-ikan yang ada di dalam lautan“.

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk (kebajikan), maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun“.

  1. Anak Shaleh yang Mendoakan Orang Tuanya.
    Anak itu termasuk usaha orang-tua, sehingga amalan-amalan sholeh yang diamalkan si anak, juga akan menjadikan orang-tua mendapatkan pahala amalan tersebut, tanpa mengurangi pahala anak tersebut sedikitpun.

Imam Tirmidzi, Imam Nasai dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ

Sesungguhnya sebaik-baik yang kamu makan adalah yang (kamu dapatkan) dari usaha kamu, dan sesungguhnya anak-anakmu itu termasuk usaha kamu“.

Hadits (di atas) mengkhususkan anak shaleh dan sudah ma’lum kedekatan anak shaleh dari pada yang lainnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, oleh karena itulah Nabi menyebutnya pada hadits itu. Di mana anak shaleh itu selalu berdzikir dan selalu menjaga hubungan baik kepada kepada Allah. Dan ia pun tidak lupa memanjatkan do’a untuk kedua orang tuanya setelah mereka tiada. Selain itu bahwa anak shaleh yang membiasakan diri di dalam mengerjakan amalan-amalan shaleh sewaktu kedua orang tuanya hidup, yang dia mempelajari amalan-amalan shaleh itu dari keduanya, maka kedua orang tuanya mendapatkan pahala dari amalan-amalan anaknya, tanpa mengurangi pahala si anak tersebut.

Seorang bapak membutuhkan waktu yang panjang untuk membentuk anak yang shaleh. Dia memulainya dengan memilih istri yang shalehah, supaya menjadi ibu bagi anak shaleh tersebut. Kemudian mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan syari’at. Dengan ini dia menjadi anak yang shaleh, walaupun kedua orang tuanya sudah wafat.

Perlu diketahui juga bahwa keshalihan oran-tua, bisa menjadi sarana kebaikan anak, walaupun mereka telah meninggal dunia. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَكَانَ أَبُوْهُمَا صَالِحًا

Dan dahulu kedua orang tuanya adalah orang yang shaleh“. [Al-Kahfi/18: 82]

Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang ke lima, pernah berkata:

مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يَمُوْتُ إلاَّ حَفِظَهُ اللهُ فِي عُقْبِهِ وَعُقْبِ عُقْبِهِ

Tidaklah seorang mukmin meninggal dunia kecuali Allah akan menjaga anaknya dan cucunya”.

Ibnul Munkadir berkata:

إِنَّ اللهَ لَيَحْفَظُ بِالرَّجُلِ الصَّالِحِ وَلَدَهُ وَوَلَدَ وَلَدِهِ

Sesungguhnya Allah akan menjaga anak dan cucu seorang yang shalih”.

  1. Bersiaga Di Jalan Allah.
    Imam Muslim, Tirmidzi dan An-Nasai meriwayatkan dari Salman Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ وَإِنْ مَاتَ فِيْهِ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ

Bersiaga (di jalan Allah) sehari semalam lebih baik daripada puasa dan mendirikan sholat satu bulan, dan apabila (orang yang berjaga tersebut) meninggal dunia maka amalan yang sedang dia kerjakan tersebut (pahalanya terus) mengalir kepadanya, rizkinya terus disampaikan kepadanya dan dia terjaga dari ujian (kubur)“.

Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan dari Fudhalah bin Ubaid Radhiyallahu ‘anhu : bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كُلُّ الْمَيِّتِ يُخْتَمُ عَلَى عَمَلِهِ إِلاَّ الْمُرَابِطَ فَإِنَّهُ يُنْمَي لَهُ عَمَلُهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَيُؤَمَّنُ مِنْ فِتْنَةِ الْقَبْرِ

Setiap orang yang meninggal dunia akan ditutup semua amalannya kecuali orang-orang yang berjaga-jaga (di perbatasan musuh di jalan Allah), karena pahala amalannya akan dikembangkan baginya sampai hari kiamat, dan dia akan diselamatkan dari fitnah kubur“.

Imam Nawawi rahimahullah berkata memberikan komentar terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Ini adalah keutamaan yang nyata bagi orang yang berjaga di jalan Allah, dan pahala amalannya yang tetap mengalir kepadanya setelah ia meninggal dunia. Ini merupakan keutamaan yang khusus bagi orang yang berjaga tersebut, tidak ada seorangpun yang ikut di dalamnya. Di dalam hadits lain (yakni riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi, sebagaimana di atas-red) yang tidak diriwayatkan oleh Muslim dinyatakan dengan jelas:

كُلُّ الْمَيِّتِ يُخْتَمُ عَلَى عَمَلِهِ إِلاَّ الْمُرَابِطَ فَإِنَّهُ يُنْمَي لَهُ عَمَلُهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Setiap orang yang meninggal dunia akan ditutup semua amalannya kecuali orang yang berjaga, maka sesungguhnya amalannya terus dikembangkan sampai hari Qiamat“.

Dan sabda beliau:

وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ

rizkinya terus disampaikan kepadanya“.

Sesuai dengan Firman Allah Azza wa Jalla yang berbunyi.

وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

Dan janganlah kamu menganggap orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, akan tetapi ia hidup di sisi Tuhannya dengan diberi rizki“. [Ali-‘Imran/3: 169]

  1. Barangsiapa Yang Menggali Kubur Untuk Mengubur Seorang Muslim.
    Dari Abu Rafi’ Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَكَتَمَ عَلَيْهِ غُفِرَ لَهُ أَرْبَعِيْنَ مَرَّةً, وَ مَنْ كَفَّنَ مَيِّتًا كَسَاهُ اللهُ مِنَ السُّنْدُسِ وَ إِسْتَبْرَقِ الْجَنَّةِ وَمَنْ حَفَرَ لَمَيِّتٍ قَبْرًا فَأَجَنَّهُ فِيْهِ أُجْرِيَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ كَأَجْرِ مَسْكَنٍ أَسْكَنَهُ إِلَيَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Barang siapa yang memandikan jenazah/ mayit dan ia menyembunyikan cacat jenazah tersebut, niscaya dosanya diampuni sebanyak 40 dosa. Dan barang siapa yang mengkafani jenazah/ mayit, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya kain sutra yang halus dan tebal dari sorga. Dan barang siapa yang menggali kuburan untuk jenazah/ mayit, dan dia memasukkannya ke dalam kuburan tersebut, maka dia akan diberi pahala seperti pahala membuatkan rumah, yang jenazah/ mayit itu dia tempatkan (di dalamnya) sampai hari kiamat“. [HR. Al-Baihaqi dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih sesuai syarat Muslim”, dan Imam Ad-Dzahabi menyetujuinya].

Pada hadits riwayat At-Thabrani dari Abi Rafi’, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَكَتَمَ عَلَيْهِ غَفَرَ اللهُ لَهُ أَرْبَعِيْنَ كَبِيْرَةٍ, وَ مَنْ حَفَرَ لأَخِيْهِ قَبْرًا حَتَّى يُجِنَّهُ فَكَأَنَّمَا أَسْكَنَهُ سَكَنًا حَتَّى يُبْعَثُ

Barang siapa yang memandikan jenazah dan dia menyembunyikan cacat jenazah tersebut, niscaya Allah mengampuni 40 dosa besar yang ada padanya. Dan barang siapa yang membuat lobang kuburan untuk saudaranya, sampai ia memasukkannya kedalam kuburan itu maka seakan-akan ia membuatkan rumah baginya sampai ia dibangkitkan“. [Al-Haitsami berkata : “Diriwayatkan oleh At-Tabrani di dalam kitab (Al Kabir) dan para perawinya, adalah para perawi Shahih (Bukhari]”.

  1. Apabila Manusia, Hewan atau Burung Memakan Tanaman Milik Mayit.
    Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :

دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أُمِّ مَعْبَدٍ حَائِطًا فَقَالَ يَا أُمَّ مَعْبَدٍ مَنْ غَرَسَ هَذَا النَّخْلَ أَ مُسْلِمٌ أَمْ كَافِرٌ فَقَالَتْ بَلْ مُسْلِمٌ قَالَ فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَابَّةٌ وَلاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Nabi memasuki kebun Ummu Ma’bad, kemudian beliau bersabda: “Wahai Ummu Ma’bad, siapakah yang menanam kurma ini, seorang muslim atau seorang kafir?.” Ummu Ma’bad berkata: “Bahkan seorang muslim”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu dimakan oleh manusia, hewan atau burung kecuali hal itu merupakan shadaqah untuknya sampai hari kiamat“.

Pada riwayat ( Imam Muslim) yang lain:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتِ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَلاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ

Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, kecuali apa yang dimakan dari tanaman tersebut merupakan shadaqahnya (orang yang menanam). Dan apa yang dicuri dari tananman tersebut merupakan shadaqahnya. Dan apa yang dimakan oleh binatang buas dari tanaman tersebut merupakan shadaqahnya. Dan apa yang dimakan oleh seekor burung dari tanaman tersebut merupakan shadaqahnya. Dan tidaklah dikurangi atau diambil oleh seseorang dari tanaman tersebut kecuali merupakan shadaqahnya“.

Imam Nawawi rahimahullah berkata mengomentari hadits di atas: “Di dalam hadits ini menunjukkan keutamaan menanam dan mengolah tanah, dan bahwa pahala orang yang menanam tanaman itu mengalir terus selagi yang ditanam atau yang berasal darinya itu masih ada sampai hari kiamat”.

Hal ini berbeda dengan shadaqah jariyyah, yaitu bahwa tanaman itu tidak dimaksudkan (diniatkan) sebagai shadaqah jariyyah, akan tetapi tanaman yang dimakan dari tanaman tersebut (menjadi shadaqah jariyah) tanpa keinginan dari pemiliknya atau ahli warisnya.

  1. Apabila Seseorang Melakukan Sunnah  yang Baik Sebelum Meninggal Dunia.
    Apabila seorang muslim mendapatkan pahala dari suatu amalan yang dia amalkan, maka orang yang telah mengajarinya amalan tersebut juga mendapatkan pahala yang serupa, dengan tanpa mengurangi pahala orang yang mengamalkan sedikitpun. Dan bagi guru pertamanya, yaitu Al-Mush-thafa (Muhammad) Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan seluruh pahala tersebut.

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Juhaifah Radhiyallahu ‘anhu bahwasannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ لَهُ أَجْرُهُ وَمِثْلُ أُجُورِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهُ وَمِثْلُ أَوْزَارِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا

Barang siapa yang melakukan sunnah (jalan/cara/metode/kebiasaan) yang baik, kemudian diamalkan (oleh orang-orang lain) setelahnya, maka dia mendapatkan pahala hal tersebut dan seperti pahala mereka (orang-orang yang mengikuti), dengan tidak mengurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa melakukan sunnah (jalan/cara/metode/kebiasaan) yang jelek, kemudian diamalkan (oleh orang-orang lain) setelahnya, maka dia mendapatkan dosa hal tersebut dan seperti dosa mereka (orang-orang yang mengikuti), dengan tidak mengurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka“.

Imam Bukhari dan Imam Muslim juga meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلاَّ كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا لأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ

Tidaklah ada satu jiwa yang dibunuh secara zhalim, kecuali anak Adam yang pertama menanggung sebagian dari darahnya, karena dia adalah orang yang pertama kali melakukan sunnah (jalan/cara/metode/kebiasaan) pembunuhan.”

Dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al-Anshori Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala pelakunya“.

Dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, tidak mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang-orang yang mengikutinya, tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun

Imam Nawawi berkata: “Dua hadits ini nyata menganjuran disukainya melakukan sunnah perkara-perkara yang baik dan larangan melakukan sunnah perkara-perkara yang buruk. Dan bahwa orang yang melakukan sunnah yang baik, dia akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang-orang yang melakukan perbuatannya sampai hari kiamat. Dan barangsiapa melakukan sunnah yang buruk, dia akan mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang-orang yang melakukan perbuatannya sampai hari kiamat. Dan bahwasannya orang yang menyeru kepada petunjuk, ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya. Dan begitu juga orang yang menyeru kepada kesesatan, dia akan mendapatkan dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya. Sama saja, apakah petunjuk (kebaikan) atau kesesatan (kejelekan) tersebut dia sendiri yang melakukan pertama kali atau sudah ada yang melakukannya sebelumnya. Dan sama saja, apakah hal itu berbentuk: mengajarkan ilmu, ibadah, sopan-santun atau lainnya. Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ

Kemudian diamalkan (oleh orang-orang lain) setelahnya“.

artinya bahwa ia telah melakukan sunnah tersebut, kemudian sama saja apakah amalan itu diamalkan semasa ia hidup atau setelah ia meninggal.

Wallahu A’lam.

(Diterjemahkan oleh Mahrus, dari Majalah At-Tauhid, hal. 46 – 49, No. 2 Shafar 1421H)


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/30402-ibadah-dan-amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit-2.html